Utang piutang kerap menjadi pemicu konflik yang berujung pelaporan ke kepolisian. Namun, benarkah semua gagal bayar bisa dipidana? Jawabannya tak sesederhana itu.
MCBNews – Dalam kehidupan bermasyarakat, praktik utang piutang merupakan hal lumrah. Perbedaan latar belakang sosial dan kondisi ekonomi membuat transaksi pinjam meminjam, baik uang maupun barang, tak terelakkan. Namun, ketika salah satu pihak gagal memenuhi janji pengembalian, sengketa pun tak bisa dihindari.
Secara hukum, utang piutang diatur dalam Pasal 1754 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) sebagai bentuk perjanjian pinjam meminjam. Hukum perdata menempatkan hubungan ini dalam kategori kontrak, di mana muncul hak dan kewajiban di antara para pihak berdasarkan kesepakatan (Pasal 1233 dan 1313 KUH Perdata).
Namun masalah muncul saat perjanjian tak ditepati. Banyak masyarakat langsung menempuh jalur pidana, berharap penegakan hukum lebih cepat atau tegas. Padahal, tidak semua wanprestasi atau kelalaian membayar utang masuk ke ranah pidana.
Menurut Pasal 19 ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, seseorang tidak dapat dipenjara karena tidak mampu membayar utang. Artinya, permasalahan tersebut pada dasarnya berada dalam ranah hukum perdata.
Lalu, kapan gagal bayar bisa jadi pidana?
Dalam kasus tertentu, pelanggaran perjanjian dapat bergeser ke wilayah pidana apabila mengandung unsur penipuan atau penggelapan. Dua pasal utama yang biasa digunakan aparat penegak hukum dalam hal ini adalah Pasal 378 KUHP (Penipuan) dan Pasal 372 KUHP (Penggelapan). Misalnya, jika utang terjadi melalui manipulasi seperti penggunaan nama palsu, tipu muslihat, atau pemberian cek kosong yang disengaja, maka dapat dikategorikan sebagai tindakan kriminal.
Hal ini sejalan dengan yurisprudensi Mahkamah Agung (No. 1036 K/Pid/1989), yang menyatakan bahwa penggunaan cek kosong yang disengaja dapat dianggap sebagai penipuan, karena ada niat jahat (mens rea) yang menyertai perbuatannya.
Advokat Edi Rosandi dari Palangka Raya menjelaskan, wanprestasi bisa beralih menjadi perkara pidana jika sejak awal ada niat untuk menipu. Ia mencontohkan tindakan tidak memenuhi janji dalam perjanjian, melaksanakan dengan cara yang tidak sesuai, atau bahkan melanggar larangan dalam kontrak.
Pasal 378 KUHP memperjelas batasan tersebut. Dalam pasal itu, penipuan terjadi jika seseorang dengan sengaja menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang atau memberikan utang dengan tipu muslihat atau rangkaian kebohongan, dengan tujuan menguntungkan diri sendiri secara melawan hukum.
Penutup:
Sengketa utang piutang pada dasarnya merupakan persoalan perdata yang diselesaikan melalui pengadilan perdata. Namun, jika ada unsur penipuan atau penggelapan, barulah masuk ke ranah pidana. Masyarakat perlu bijak dan memahami perbedaan mendasar ini agar tidak salah langkah saat menghadapi persoalan hukum. Jalur hukum yang tepat akan menghasilkan penyelesaian yang adil dan proporsional.
(Awn)