Jakarta, MCBNews – Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) resmi meningkatkan penyelidikan dugaan praktik kartel bunga di industri pinjaman online (pinjol) ke tahap Sidang Majelis Pemeriksaan Pendahuluan. Sidang dijadwalkan berlangsung dalam waktu dekat sebagai bentuk tindak lanjut atas temuan pengaturan bunga secara kolektif di kalangan pelaku usaha pinjol.
Ketua KPPU, M. Fanshurullah Asa, menyebutkan ada indikasi pelanggaran Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
“Kami menemukan adanya pengaturan bersama mengenai tingkat bunga oleh pelaku usaha yang tergabung dalam asosiasi selama periode 2020 hingga 2023. Praktik ini berpotensi membatasi kompetisi dan merugikan konsumen,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Rabu (30/4/2025).
Sebanyak 97 perusahaan pinjol yang tergabung dalam Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) ditetapkan sebagai Terlapor. Mereka diduga menetapkan batas maksimal bunga harian secara kolektif—awalnya 0,8% per hari, kemudian disesuaikan menjadi 0,4% sejak 2021—melalui kesepakatan internal di bawah asosiasi.
KPPU telah mempelajari struktur pasar, model bisnis peer-to-peer (P2P) lending, hingga pola keterkaitan antar pelaku industri pinjol di Indonesia. Berdasarkan data per Juli 2023, pasar pinjol didominasi segelintir pemain besar seperti KreditPintar (13%), Asetku (11%), Modalku (9%), KrediFazz (7%), EasyCash (6%), dan AdaKami (5%).
Tingginya konsentrasi pasar, ditambah hubungan afiliasi dengan e-commerce, memperkuat dugaan adanya praktik penetapan harga yang tidak wajar. Hal ini dinilai bertentangan dengan prinsip persaingan usaha yang sehat.
Jika terbukti melanggar, para pelaku usaha terancam dikenai sanksi administratif berat, termasuk denda maksimal 50% dari keuntungan atau 10% dari total penjualan selama periode pelanggaran.
KPPU menegaskan, penanganan kasus ini penting untuk menciptakan iklim kompetisi yang sehat di sektor keuangan digital. Dengan nilai transaksi pinjol yang telah mencapai Rp829,18 triliun, serta 125 juta akun peminjam aktif, industri ini dinilai sangat strategis bagi inklusi keuangan nasional.
World Bank mencatat, Indonesia memiliki credit gap sebesar Rp1.650 triliun—kebutuhan pembiayaan yang belum terpenuhi oleh lembaga keuangan konvensional. Inilah yang mendorong laju pertumbuhan industri pinjol.
“Kami ingin penegakan hukum ini jadi momen koreksi struktural: merevisi standar industri, memperketat pengawasan asosiasi, dan mendorong penurunan bunga pinjaman,” kata Fanshurullah.
Hingga kini, KPPU tengah menyusun komposisi Tim Majelis dan jadwal sidang perdana. Perkara ini dinilai berpotensi membawa dampak besar pada arah kebijakan dan regulasi pinjaman digital di Indonesia.
(Awn)