Jakarta, MCBNews – Dunia usaha di Indonesia kini menghadapi tekanan berlapis: tak hanya dari premanisme konvensional seperti pemalakan oleh organisasi masyarakat (ormas), tetapi juga dari ancaman digital berupa kampanye negatif di media sosial. Kondisi ini dinilai semakin meresahkan dan menghambat iklim investasi.
Melansir dari CNBC Indonesia, Sekretaris Jenderal Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Maulana Yusran, menyebut gangguan tersebut sebagai “makanan harian” dunia usaha.
“Gangguan dari ormas terhadap operasional bisnis itu sudah seperti rutinitas, dan sekarang makin marak. Semua pelaku usaha mengeluhkan hal ini. Kalau pemerintah bisa menertibkan, akan sangat membantu efisiensi. Dunia usaha butuh kepastian hukum untuk menarik investasi,” ujarnya, Selasa (29/4/2025).
Selain tekanan dari ormas, Maulana juga menyoroti bentuk baru premanisme dalam era digital—yakni ancaman viralisasi konten negatif yang bisa menghancurkan reputasi sebuah usaha dalam hitungan jam. Ia tidak merinci siapa yang kerap melakukan hal ini, namun menyebut keterlibatan buzzer dalam menyebarkan narasi merugikan menjadi fenomena yang mengkhawatirkan.
“Di era digital, menghakimi bisnis jadi sangat mudah. Premanisme hari ini bukan hanya dari mereka yang menuntut imbalan secara fisik, tapi juga dari pihak-pihak di media sosial yang dengan mudah menyebar opini negatif tanpa dasar kuat,” jelas Maulana.
Ketakutan terbesar pelaku usaha saat ini adalah jika kesalahan kecil bisa menjadi viral dan menggerus kepercayaan pelanggan, bahkan menghancurkan brand yang dibangun puluhan tahun.
“Digitalisasi memang memudahkan penyebaran informasi. Tapi jika implementasinya salah, justru bisa merusak investasi. Produk dan jasa itu sangat bergantung pada citra,” ujarnya.
Maulana menekankan perlunya regulasi khusus yang dapat melindungi pelaku usaha dari praktik-praktik digital yang merugikan.
“Kalau hal seperti ini terus dibiarkan tanpa aturan yang tegas, maka dunia usaha akan terus berada dalam bayang-bayang ketidakpastian,” tutupnya.
(red)